Tentang Sebuah Pilihan

Beberapa minggu terakhir, kehidupan bermedia kita seolah berganti poros. Dari yang tadinya beragam tema seperti galau hingga bercanda, sekarang kebanyakan mengerucut menjadi dua : pilih saya atau dia. Kita sedang menghadapi sebuah proses menuju pembentukan sejarah baru di Indonesia - pemilihan Presiden periode 2014-2019. Dalam dua hari, nasib bangsa ini ditentukan oleh sebuah keputusan kecil yang ditawarkan pada kita : memilih, atau tidak? Tulisan ini adalah kenapa saya putuskan untuk memilih, dan apa artinya bagi kita semua.

Mountains of Indonesia - karya Tjandra Hutama Kurniawan

Coba lihat foto di atas. Pemandangan yang indah, dan ternyata berasal dari negara kita sendiri, Indonesia. Ada rasa familiar meskipun kita tidak tahu dimana lokasinya. Ada pula rasa ragu karena tidak pernah kesana, sehingga bisa jadi apa yang kita lihat bukan sesuatu yang nyata. Jadi aneh - pemandangan itu kita rasanya kenal, tapi tidak pernah yakin benar. Namun lepas dari pertentangan rasa itu, kita tahu tempat ini ada diluar sana dan mungkin suatu saat nanti kita bisa mencapainya. Sementara itu, selama hanya bisa melihat foto itu dengan kagum dan ragu, rasanya ingin bertanya : Indonesia itu sebenarnya seperti apa?

Hal yang sama terjadi pada suasana Pilpres 2014 ini - terlebih pada golongan yang masih berada antara pilihan. Dengan terpaan informasi yang luar biasa besar dari media, bukan tidak mungkin hati kita diliputi kerancuan yang luar biasa. Pemilu itu kan pernah ada. Kita sudah pernah dengar, sudah pernah tahu atau sudah pernah ikut. Tapi tahun ini ada rasa penasaran yang muncul - kenapa begitu heboh pemberitaannya? Kenapa begitu menyebalkan manusia-manusia yang berseberangan paham didalamnya? Kenapa santer isu fitnah dan saling menjelek-jelekkan yang lebih parah dari biasanya? Gejolak itu membuat hati kita ragu, kok Pemilu 2014 ini tidak seperti yang sudah-sudah ya, sepertinya. Semua Pemilu kemarin sama-sama terjadi di Indonesia, tapi kenapa yang kali ini asing rasanya? Orang berubah, teman mendadak menjadi fanatik dan pemarah, sisanya bingung harus bagaimana. Isu agama dan etnis dibawa-bawa. Berita yang simpang-siur. Ketakutan yang menjalar. Negara ini berganti-ganti rupa sampai rasanya hilang rasa percaya. Hingga akhirnya muncul juga pertanyaan yang sama : Indonesia itu sebenarnya seperti apa?

Untuk pertanyaan itu, saya akhirnya menyimpulkan satu jawaban : Indonesia sebenarnya seperti segala sesuatu yang pernah kita lihat lalu kita ragukan kembali. Indonesia bisa berbeda-beda dan asing bentuknya secara berkala, tetapi jauh di dalam hati kita tahu betul apa yang menyatukan kita semua menjadi sama. Indonesia, sesukar apapun menakarnya, akan dan selalu akan menjadi bagian dari hati kita. Sedikit banyak, sejauh dekat. Dan terkadang, meskipun sangat jarang, Indonesia menampilkan wajahnya jauh lebih nyata daripada yang sebelumnya.

Dalam pilpres 2014 ini, Indonesia terasa begitu dekat dan nyata.
Dalam sisi baik dan buruknya.

Kapan lagi kita melihat antusiasme yang begitu besar muncul dari berbagai kalangan? Dari menjadi relawan, melakukan kicauan di media sosial, memberikan sumbangan, berkarya tanpa bayaran, kumpul di warung kopi untuk nonton debat capres dengan teman-teman? Kapan lagi kita melihat Indonesia dipenuhi antusiasme anak muda dan seniman mewujudkan satu gerakan bersama? Kapan lagi kita diberi kesempatan untuk belajar menghargai perbedaan dengan bijaksana ditengah maraknya prasangka agama dan pemalsuan fakta-fakta? Kapan lagi kita bisa memanfaatkan akses yang kita punya untuk mencari tahu bagaimana caranya memilah informasi, dan mendapatkan pengalaman eksplorasi yang berharga? Kapan lagi kita bisa menikmati kebebasan itu semua? Belajar dan berdiskusi tentang politik tanpa takut-takut? Itulah kenapa saya memutuskan untuk mengabaikan segala pertimbangan semu tentang konsep politik yang katanya kotor dan abu-abu. Saya kesampingkan teori besar yang menyatakan bahwa dalam politik, kedua kubu yang bersaing adalah sama baik buruknya. Saya tidak pedulikan omongan orang yang menyatakan keberpihakan adalah sebuah kekonyolan.

Saya memutuskan untuk menyatakan pilihan.
Dengan beberapa alasan.

1. SAYA MEMILIH KARENA PENGALAMAN
Sebelum ini, tidak ada politisi yang membuat saya kagum karena perkataan sekaligus tindakannya. Pengalaman hanya mengajarkan saya untuk memilih yang mendingan di antara yang memuakkan. Pengalaman dari kakek-nenek, orangtua dan kawan-kawan juga menyadarkan saya bahwa pilihan adalah kekuatan - sebagai pasangan PNS, kakek dan nenek saya tidak pernah bisa menentukan pilihan semasa pemerintahan Soeharto di ORDE BARU. Presiden adalah suatu kemutlakan, bukan konvensi kerakyatan. Sepupu-sepupu saya ikut dalam pengalaman menumbangkan rejim otoriter ORDE BARU yang membungkam kekritisan. "Kamu harus bayangkan, jaman dulu, tidak bakal bisa berkoar-koar tentang pemerintah di media. Jangankan tulisan, obrolan santai saja semua tidak berani." Pengalaman mengajarkan betapa sebuah pilihan adalah kemewahan. Indonesia BUTUH pemerintah yang demokratis, bukan otoriter. Setelah dibodohkan dan dilemahkan bertahun-tahun, jangan sampai kita memandang rendah bangsa sendiri dan menyatakan hanya kekuatan otoritarianisme yang bisa membawanya jadi lebih baik. Jadi lebih diam, ya, tapi tidak lebih baik. Demokrasi mengajarkan kita untuk belajar percaya pada potensi rakyat Indonesia, dan seperti layaknya segala proses dalam hubungan, kepercayaan butuh sesekali mengalami kegagalan. Jangan sampai Demokrasi ini mati. Demi menghargai dan sungguh-sungguh bersyukur atas rahmat kebebasan untuk menyuarakan pilihan yang berpuluh tahun tidak pernah dialami oleh generasi keluarga saya sebelumnya, saya tidak mungkin tidak memilih. Inilah kepuasan yang diperjuangkan dengan diam oleh kakek, nenek, dan kedua orang tua saya dulu saat mereka tidak bisa bersuara. Inilah balasan yang dirasakan oleh kakek dan nenek saya ketika berdoa dalam senyap, memintakan perubahan untuk anak dan cucunya suatu hari kelak. Demi detik-detik hening yang mereka lewatkan tanpa kebebasan sepanjang karirnya dulu, saya tidak bisa tidak memilih. Karena terkadang pengorbanan terbesar adalah yang hanyut dalam diam, hingga akhirnya terlupakan. Untuk itu saja, dan untuk apa yang pengalaman sudah tunjukkan, saya yakin akan memilih.

2. SAYA MEMILIH UNTUK MELAWAN
Belum pernah dalam sejarah hidup ini saya menyaksikan ada pihak-pihak yang menyerukan kekerasan dengan bangga. Belum pernah saya alami dengan mata kepala sendiri ada kelompok-kelompok yang dengan sengaja ingin mematikan pluralisme dan ke-Bhineka-an Indonesia dengan jumawa. Dalam Pilpres kali ini, seruan-seruan tersebut dikumandangkan dengan gamblang atas nama koalisi dan jaminan kekuasaan. Yang mengerikan, mereka tanpa malu bergabung menjadi satu. Mereka tidak lagi merayap dalam diam lalu berbuat dan kabur dalam kilahan, tetapi nyata-nyata mengumbar "senjata". Dan yang lebih penting dari segalanya, mendadak seruan yang menentang hidup kembangnya Demokrasi di negara ini dielu-elukan. Tidak perlu menyebut siapa dan berkelahi karena yang dibela berbeda. Seharusnya persatuan dan ajakan kedamaian dalam paham Demokrasi menjadi nilai yang terus menerus ditekankan. Didiskusikan supaya menjadi lebih baik dan seraya berpegangan tangan, membangun jembatan-jembatan yang diperlukan untuk saling menjaga sesama dari kejatuhan. Nilai-nilai kebaikan ini sedang terancam, dalam kampanye hitam yang menjadikan hati kita gamang. Sudah saatnya saya melawan, melalui hal sederhana saja : memutuskan untuk tidak mendukung pembawa masalah dan siapapun yang mengusahakan perpecahan. Untuk melawan, setidak-tidaknya, kita harus yakin dan mendukung pergerakan yang mengusung nilai-nilai kebenaran. Pilihan adalah perlawanan.

3. SAYA MEMILIH DEMI HARAPAN
Minggu kemarin, untuk pertama kalinya saya menyaksikan bagaimana rasanya menjadi bagian dari sebuah "euforia" pergerakan. Saya mengenal orang-orang yang hebat dan sangat menginspirasi bergabung menjadi satu, memberikan apa yang mereka miliki untuk menyatakan dukungan. Memang ada banyak warga Indonesia yang tadinya apatis menjadi peduli, yang tadinya mengaku awam kemudian tergerak untuk belajar dan paham, yang mungkin belum punya keberanian lalu merapat seolah ikut-ikutan. Tidak apa-apa. Jangan matikan harapan-harapan sekecil apapun itu, ketika semua terlahir dari hati yang sederhana. Boleh bilang ini euforia sebuah pesta, tapi jangan matikan semangatnya, karena euforia bukan tidak mungkin menjelma menjadi budaya ketika dibiarkan bertumbuh dengan iringan doa dan harapan yang terbuka. Ini tentu tidak bisa terjadi ketika kita tidak mendukung sosok yang SUDAH secara nyata melakukan, mendorong, mengajarkan bagaimana sebuah harapan bisa mendapatkan tempat untuk berproses menjadi kenyataan. Satu kata kunci yang nenek saya ajarkan mengenai hal itu : Harapan adalah harta paling berharga yang dimiliki rakyat dan manusia biasa, bukan uang atau kuasa. Jangan menjadi lilin, tetapi jadilah nyala, yang bisa menemukan cara untuk kembali terang dalam kegelapan. Saya memilih demi harapan, karena hanya saat memiliki kebebasanlah harapan dapat menjelma nyata dalam bentuk perubahan.

Selama masih bisa berharap, perjuangkanlah. Perjuangkanlah yang memberi ruang untuk perbedaan, kesempatan untuk menyuarakan kritik, juga menyerukan agar hukum untuk ditegakkan. Pelajari dengan betul siapa yang didukung oleh pihak-pihak bermasalah, lalu bandingkan keduanya. Mana yang paling sesuai dengan hati nuranimu? Mana yang nilai-nilainya kelak bisa menyokong kedamaian yang kamu cita-citakan untuk bangsa? Ajak bicara orang-orang yang selama ini kamu kagumi karena karyanya. Nilai apa sih yang dia pilih dan ingin kamu dukung? Jangan dukung yang mengadu domba saudara senegara atas nama Tuhan atau Agama, karena Dia mengasihi dirimu sekaligus sesamamu dengan kasih serta pengampunan yang sama. Jangan tertipu oleh kemasan yang manis dan kata-kata yang cantik, karena terkadang kejujuran itu buruk rupa, namun tidak kalah berharga. Dan yang terpenting, kalau boleh saya berharap, pilihlah yang tidak membebani hati kita karena nilai-nilai baik yang dibelanya telah dibuktikan secara nyata. Belum terlambat untuk membuka hati dan pikiran, untuk menentukan pihak mana yang kata-kata dan tindakannya menyejukkan hatimu dengan damai, sukacita, kesederhanaan; yang memiliki ketegasan terhadap ketidakadilan, reputasi baik bagi negara Indonesia di muka dunia, jauh dari kesombongan dan keseragaman yang arogan, menghargai Hak Asasi Manusia dengan ikhtiar untuk menegakkan hukum kembali, dan tidak pernah mengancam pihak tertindas hanya karena haus kekuasaan. Itu kalau saya.

Mari sisihkan waktu sejenak dalam keheningan, dan tanyakan pada hati nurani kita : damaikah rasanya pilihanmu?
Pilihan saya tidak pernah membuat hati gelisah, bersalah atau ragu. Semoga kamu juga begitu. :)

------------------------------------


Karena bukan tidak mungkin suatu saat kita kembali
pada masa dimana harapan tidak lagi bisa menjadi pilihan.

Setidaknya dalam pertaruhan nilai bangsa kali ini,
pilihan kita tidak menguap menjadi penyesalan.


------------------------------------


Artikel dan Link Terkait (Suggested):

1. Untuk Yang Masih Bingung - www.60detikaja.com

2. H-2 : Sudahkah Kamu Menentukan Pilihan? (Sonia Eryka) - http://soniaeryka.blogspot.com/2014/07/h-2-sudahkah-kamu-menentukan-pilihan.html 

3. Saya Mohon Jangan Netral Atau Golput (Dian Paramita) - http://www.dianparamita.com/blog/saya-mohon-jangan-netral-atau-golput 

4. Sebuah Surat Kepada Teman-Teman Di Seberang (Ernest Prakasa) - http://bit.ly/1xCfdqX 

5. My Final Statement Untuk Pemilu 2014 (Dewi Lestari) - http://dee-idea.blogspot.com/2014/07/surat-suara-tanpa-angka.html 

6. Antara Prabowo dan Jokowi (Herman Saksono) - Antara Prabowo dan Jokowi