Five Days in Luang Prabang: A First-Timer Guide (Bahasa)

IMG_2406.JPG

"Luang Prabang" — sungguh nama yang begitu cantik, pikir saya. Sejak akhir Desember 2017 lalu Pak Gege udah sering menyebut nama kota kecil di dataran tinggi Laos itu. Kebetulan dia ada sebuah project yang sedikit banyak memerlukan survey ke beberapa tempat di Asia Tenggara, dan alasan itu membuat kami berdua punya ide untuk sekalian pergi berdua. Waktu itu kami sempet ragu mau berangkat, secara musti titipin Jonah sama Joni, trus ngosongin kerjaan dan ninggalin kantor semingguan. Nah, tapi, pas kami coba buka Google, segambreng foto dan informasi mengenai Luang Prabang nongol tuh secara komprehensif. Nggak perlu survey lama, dalam beberapa detik aja foto dan artikel tentang Luang Prabang sudah berhasil menghapus segala keraguan di hati. Yang kepikir cuma: BERANGKAT!! Kombinasi antara area turis yang suasananya outsider-friendly didukung dengan situasi kota kecil berbudaya yang menjunjung tinggi slow-living ala penduduk setempat. Cocok untuk duo Taurus mager yang kalo jalan-jalan pengennya tanpa beban dan nggak keburu-buru. Akhirnya kami memutuskan buat mampir dan menghabiskan empat hari disana. Pas survey sana sini emang kelihatannya rata-rata tiga sampai lima hari aja udah cukup. Untuk menjadi catatan: trip kami dimulai dari Singapore karena ada keperluan untuk mampir sebentar, bukan mau ke Laneway kok soalnya sadar relasi umur dan tingkat kejompoan melainkan karena tanggalnya bareng sama opening Art Stage Singapore 2018 yang pengen kami datengin. Per-mampir-an ini lumayan bikin ribet karena sebenernya flight yang kami pesen untuk ke Luang Prabang tuh berangkatnya dari Kuala Lumpur. Lumayan capek ngejer waktu dan ngelewatin dua transit dalam sehari 💆‍. Jadi supaya lebih efisien, nanti saya bakal share di bawah perihal rute yang lumayan oke buat dicoba dalam menuju Luang Prabang ya. Sebelumnya mohon maap karena post ini bermaksud menjawab segambreng pertanyaan yang diberikan oleh teman-teman sekalian, mungkin akan lumayan panjang dan akan ada banyak foto-foto pendukung. Oke, karena sudah tertunda hampir setahun nih postingan perjalanan ini (parah ya hahahaha), mari kita segera mulai saja ceritanya. 🍻


A LITTLE BACKGROUND


IMG_4045.JPG

Pemandangan dari atas pesawat, menunjukkan landscape perbukitan sejauh mata memandang!

IMG_2428.JPG
IMG_2299.JPG
IMG_201812230109563.JPG
IMG_2387.JPG
IMG_2408.JPG

Kita coba kenal kota ini sedikit ya (info dari PR hotel kami dan hasil baca-baca). Luang Prabang adalah sebuah kota kecil di Utara Laos, yang terletak di dataran perbukitan antara pertemuan Sungai Mekong dan Sungai Nam Khan. Dulunya kota ini sempat jadi ibukota Laos —yang saat itu masih berbentuk Kerajaan Lan Xang— hingga pada tahun 1545 Raja Phothisarat memindahkan tahta ke kota Vientiane. Sebagai bekas koloni Perancis, Luang Prabang terkenal sebagai kota dimana perpaduan antara kultur Lao dan Perancis menyatu dalam nafas kehidupan sehari-hari. Mulai dari arsitektur, kuliner hingga penggunaan bahasa praktis. Suasana kota Luang Prabang bisa dibilang relatif tenang dan kental dengan mood kolonial ala kota tua. Hampir tidak ada bangunan yang terkesan sepenuhnya modern atau kontemporer, meskipun mobil dan motor disana kebanyakan udah baru (dan yang kami temui di jalanan terkesan didominasi oleh brand Jepang seperti Toyota dan Honda). "Taksi" yang tersedia juga bisa dibagi menjadi dua kategori: mobil van dan mobil pick-up  terbuka yang didekorasi dengan frame besi ditutup semacam terpal, dan disebut "tuktuk". Meskipun sederhana, transportasi di kota ini sangat ramah bagi turis. Interaksi warga setempat juga menurut saya sangat baik, secara umum warga setempat pembawaannya ramah dan nggak takut berbicara sama orang asing. Meskipun bahasa Inggris mereka logatnya terbawa dialek lokal (agak kurang jelas) tapi mereka antusias banget buat mencoba berkomunikasi sama kami kemarin. Mungkin juga karena UNESCO menobatkan Luang Prabang sebagai salah satu World Heritage Site-nya sejak tahun 1995, sehingga kesiapan mereka untuk hal-hal berbau pariwisata sudah lebih baik jika dibandingkan dengan kota-kota lain di Laos.

Penduduk Luang Prabang, seperti umumnya penduduk negara Laos, kebanyakan memeluk agama Budha. Pelancong akan sering melihat para Biksu berjalan dan mengikuti aktivitas sehari-hari layaknya warga lainnya. Kuil tempat para biksu ini tinggal bisa juga kita kunjungi karena memang terbuka untuk siapa saja yang mau beribadah atau sekedar ingin melihat, asalkan tidak mengganggu umat yang sedang berdoa ya. Kuil disana disebut "Vat" dan kebanyakan berbentuk pagoda. Bahasa utama mereka adalah Lao, kedengerannya mirip sama bahasa Thailand kalau di kuping awam. Meskipun begitu kebanyakan dari mereka paham Bahasa Inggris dasar dan bisa diajak berkomunikasi terutama dalam konteks wisata (memberitahu harga barang, arah tempat, mencatat pesanan makanan). Pegawai hotel dan restoran semuanya juga berbahasa Inggris kok, jadi nggak perlu khawatir akan kesulitan. Bener-bener sederhana dan praktis aja kehidupan di kota satu ini. Untuk ukuran kota kecil, semua kebutuhan utama kita tersedia, jadi tinggal dateng pun bisa. Kota ini cukup sederhana dan relatif tenang, sekitar jam sembilan malem keatas pusat-pusat keramaian (yang letaknya cuma di satu jalan utama aja) perlahan menyurut... jadi kalau nggak terlalu suka sama suasana hening ya mungkin nggak terlalu pengen kesini ahahaha. (Memang kadang tempat yang paling sunyi itu adalah hati kita sendiri, dan tempat-tempat di sekeliling hanya sebatas menghantar kita pada kesadaran akan hal tersebut.) Semisal pengen nongkrong malem, ada juga sih beberapa bar yang buka sampe pagi, tapi nggak hingar-bingar ala bar pinggir jalan di Bali.

Nah, mobil ini yang namanya taksi "tuktuk" :D

Nah, mobil ini yang namanya taksi "tuktuk" :D

Sampai disini cukup kebayanglah, ya, suasana disana kurang lebih seperti apa...? Suasana kota kecil, tapi terbuka lebar. Seperti menggambarkan istilah "pulang ke kampung halaman" disaat hari raya, dimana kehidupan lebih apa adanya dan kita, tanpa sadar, terlarut dalam suasananya.


HOW TO GET THERE?


IMG_3147.JPG

Nah selanjutnya kita akan coba bahas gimana cara mencapai Luang Prabang dengan efisien dan cost-friendly?

Pertama, jalur udara alias naik pesawat. Kayaknya udah paling gampang dan cepet sih ini. Saya dan Pak Gempa kemarin dihadapkan dua opsi untuk rute dan maskapai: Via Bangkok naik Lao Airlines, atau Via Kuala Lumpur naik Airasia. Karena kami musti berangkat dari Singapura dan mau pulang pergi dari Jogja, rutenya lebih oke pakai Airasia. Secara harga sih kurang lebih sama antara kedua airline itu, meskipun Airasia lebih murah ya jatuhnya (udah plus meals juga di semua penerbangan). Akhir Januari 2018 kemarin keseluruhan tiket kami berdua habisnya sekitar 10 jutaan (udah PP hitungannya, rute berangkat Jogja-Singapore-Kuala Lumpur-Luang Prabang dan rute pulang Luang Prabang-Kuala Lumpur-Jogja, dengan catatan pas pulang kami nginep semalem di Kuala Lumpur karena kami sampai di KL udah malem, sedangkan flight ke Jogja cuma ada 1x sehari tiap jam 3 sore). Nah kalau kalian berangkat dari Jakarta, memang ada lebih banyak options penerbangan, tapi hasil survey kami kemarin sih tetap menunjukkan bahwa Airasia yang paling oke penawaran harga dan durasinya (dari Jakarta PP ke Luang Prabang rata-rata 2,5-3juta per orang, mirip-mirip harga tiket ke Bangkok). Bisa coba rute Bangkok atau Singapore juga sih pakai Lao Airlines tadi, cuma nggak ada yang connecting dari Jakarta-nya kalo di website mereka, jadi musti manual gitu belinya satu-satu. Kalau pakai kombinasi maskapai premium lainnya normal price per pax bisa 7-9 jutaan kemari pas ngecek, dan itu harga one-way 😥. Mendingan sekalian ke Yurop dah 😂😂😂. Jadi mendingan monggo cek dulu aja ya, siapa tau ada yang lain lebih murah selain maskapai yang kami pakai kemarin ini. Kalau mau nyoba rute kami, berarti via Kuala Lumpur aja carinya. Nyaman kok 👌

Kedua, jalur darat. Kali aja pengen nyobain jalur darat bisa juga, kami kemarin sempet baca-baca di beberapa artikel memang bisa mencapai Luang Prabang via darat, jadi pakai bus atau semacam travel car gitu. Nah tapi yang sharing rata-rata pada tour dari satu kota ke kota gitu lho, semacam backpacking atau semi sepedaan, jadi emang cocok karena lebih ekonomis dan juga bisa sekalian nyebrang misal dari Thailand ke Laos trus lanjut ke Vietnam gitu. Tapi lumayan panjang juga durasi perjalanannya, plus antri di border antar negara-nya juga semacam memakan waktu. Nah kalo jalur darat dari Indonesia mah sejujurnya nampak jauh dan bersambung-sambung dari negara satu ke negara lain ya... pegel bok 😶. Jadi berhubung juga saya nggak ngalamin sendiri, jadi mungkin yang pengen tau soal jalur darat bisa cek beberapa artikel ini:

Intinya memang harus menyesuaikan prioritas ya, kalau nggak suka road trip mungkin lebih praktis naik pesawat aja, dan dalam memilih rute harus mempertimbangkan faktor mendasar yang penting seperti biaya dan durasi. Menurut saya pribadi, karena penerbangannya cuma pendek, sayang kalo habis di biaya mahal cuma buat leg room yang nggak seberapa 😁. Akan lebih oke kalo budgetnya jadi sisa dan bisa dialokasikan buat memilih hotel yang lebih nyaman pas tinggal disana. Kenapa begitu? Kita bahas di tahap berikutnya ya...


WHERE TO STAY? 


Kamar kami di Satri House hotel, Luang Prabang. Kental dengan suasana etnik Laos, tetapi dengan eksekusi yang lebih modern.

Kamar kami di Satri House hotel, Luang Prabang. Kental dengan suasana etnik Laos, tetapi dengan eksekusi yang lebih modern.

"Pokoknya kita harus pilih yang kolonial!" Kira-kira begitu niatan sama dan Pak Gege sebelum berangkat, dan kebingungan memilih hotel yang akan kami tempati selama kurang lebih empat malam. Maklum kami berdua ini lumayan kesenengan sama arsitektur yang lawas, terutama yang ala peninggalan era kolonial. Udah gitu, dari info awal yang kami baca, bangunan di Luang Prabang memang terkenal akan pengaruh gaya kolonialisme Perancis-nya. Jadi akhirnya dalam memilih hotel, pertimbangan utama kami adalah: desain dan lokasi. Karena cukup yakin nggak ada uber atau taksi online disana, kami butuh hotel yang kemana-mana bisa deket jalan kaki atau naik sepeda. Iyaa, naik sepeda! Kebanyakan turis disana bisa sewa sepeda atau motor untuk kenyamanan berjalan-jalan, karena jalanannya nggak terlalu lebar, selain itu biar bisa mampir-mampir dengan mudah. Misalnya pas lagi mau ke kuil eh ada cafe lucu, tinggal stop. Ada toko oleh-oleh lucu, bisa gampang berentinya. Nah disana banyak tuh hotel yang udah nyediain fasilitas sepeda, atau bisa sewa juga kalau mau. Setelah cek ketersediaan hotel online, akhirnya saya dan Pak Gege jatuh cinta sama satu hotel bernama Satri House, hotel dengan style French Kolonial yang cantik banget:

IMG_201806251137241.JPG
IMG_2018062511372421.JPG
IMG_201806251137249.JPG
IMG_2018062511372433.JPG
IMG_2018062511372429.JPG
IMG_2018062511372428.JPG
IMG_2018062511372418.JPG
IMG_2018062511372416.JPG
IMG_2018062511372415.JPG

Jadi, Satri House ini dulunya semacam rumah bangsawan kerajaan Lao. Kemudian tahun 2002 direnovasi dan diperbaiki, dijadikan hotel yang masih mempertahankan desain asli beberapa bagian rumah lama sebagai bagian dari bangunan penginapan. Cantik banget deh setiap sudutnya, apalagi lokasinya di tengah-tengah, deket kemana aja, dan terkenal enak makanan di restorannya. Waktu jam makan banyak pengunjung yang makan di restoran mereka biarpun nggak nginep disana. Plus, kami bisa pinjem sepeda gratis sepanjang tinggal disitu. Akhirnya dengan yakin kami nginep disana deh, dan ekspektasi kami nggak ada yang kepleset sekalipun. Hospitality-nya juwara, dengan semua karyawan selalu sigap memasang gesture ramah dan menyapa kami setiap saat. Meskipun desainnya terkesan kuno dan lawas, tapi karena setiap sudut bersih dan juga banyak ruang untuk cahaya masuk, jadinya nggak horor. Suasana hotelnya hangat, tapi masing-masing tamu bisa merasakan privacy yang maksimal, dengan ruangan yang cukup kedap suara dan berjarak satu sama lain. Kami bisa tidur pulasss tiap malem (apalagi habis pegel sepedaan seharian hahaha). Memang dari segi harga per malam lumayan juga, jadi makanya buat kami ini kompensasi dari ngirit tiket pesawat, untuk experience hotel yang lebih nyaman. Untuk membantu menentukan pilihan tempat tinggal selama di Luang Prabang, ini beberapa pertimbangan utama yang bisa temen-temen coba rundingkan sebelumnya:

  • LOKASI

    Sebaiknya kalau pengen praktis dan irit, cari hotel yang di pusat kota, jadi bisa bepergian sendiri dengan jalan kaki, naik sepeda atau naik motor. Pilihan lain untuk mengatasi hotel yang jauh cuma nyewa mobil atau nyewa taksi tuk-tuk soalnya, dan kurang efisien karena selain lebih boros juga nggak bisa lihat pemandangan atau suasana kota dengan lebih puas. Catatan: untuk yang punya anak kecil mungkin lebih baik memang sewa mobil sekalian ya, karena jalan pake stroller agak kurang nyaman, trotoar-nya nggak sebagus itu.

  • BUDGET

    Ya tentu saja semua harus kembali pada budget ya… Kalau mau nyaman dan praktis, sekalian hotel bagus aja, nggak perlu banyak mikir. Tapi kemarin saya perhatikan ada rombongan semacam girls-trip pada nginep di homestay, dan kelihatan seru juga. Jadi sangat tergantung sama prioritas masing-masing. Kemarin saya sama Pak Gege udah tau kalo bakalan pengen santai bolak-balik kamar di sela jalan, tidur on-time, sarapan full set… jadi presentasi budget kami lebihkan untuk hotel.

  • FASILITAS

    Yang lumayan mengherankan bagi saya, di kota Luang Prabang ini nggak ada yang namanya minimarket atau convenient store (sepanjang jalanan yang kami telusuri ya). Adanya warung kecil-kecil aja. Jadi agak susah tuh misal tiba-tiba butuh pembalut, atau pengen beli cemilan ciki-cikian, hahaha. Makanya fasilitas di hotel full service jadi prioritas, karena bisa beli kebutuhan basic kapan aja, mau minta obat (seandainya tiba-tiba kenapa) juga rasanya aman karena pasti ada. Fasilitas ini termasuk kesediaan room service (kalo tetiba laper tengah malem kan, ngga bisa gojek 😁😁😁 ) sama sepeda gratis, misal.

  • DESAIN

    Desain menjadi penting ketika kita pengen bisa sekalian foto-foto di hotel! Yah namanya juga mau jalan-jalan liburan, pasti pengen ada foto buat kenang-kenangan selama disana dong? Hahahaha. Atau kayak Pak Gege yang memang bisnisnya di dunia perhotelan serta desain dan furnitur, tiap kali bepergian yang diutamakan desain hotelnya. Supaya nggak cuma fungsional aja tapi bisa ada estetika hotel yang menambah value kita saat tinggal disana. Hotel yang asri seperti Satri House ini beneran bikin sejuk mata lho ketika bangun atau santai-santai di kursi balkon. Jadi pertimbangkan desain juga ya, supaya makin betah.

Empat faktor diatas udah bisa cukup menentukan kok kira-kira kita paling cocok tinggal di penginapan seperti apa, apakah mau guest house, hotel, resort, AIRBnB... Saya dan Pak Gege sebenernya suka pakai AIRBnb untuk liburan, tapi untuk kota kecil yang nggak terlalu banyak pilihan di AIRBnb semacam Luang Prabang sepertinya hotel udah jadi pilihan paling praktis ya. Beda kalau misalnya kita ke Eropa, atau Jepang, yang banyak minimarket di kanan kiri dan transportasi publik menjangkau sampai ke pinggiran. AIRBnb-nya banyak pilihan dan kita bisa dengan gampang juga beli apa-apa di convenient store 24 jam kalo butuh sesuatu. Sebagai first-timer di Laos, apalagi nggak banyak bayangan tentang fasilitas publik di Luang Prabang, kami memutuskan nginep di hotel aja untuk segala pertimbangan yang sudah disebutkan di atas tadi.

IMG_2018062511372430.JPG

HOW'S THE FOOD & WHERE TO EAT?


Menu makan siang kami di hari pertama, di restoran Manda de Laos dekat hotel: ayam goreng yang dibumbui rempah manis dan sambal ala Laos (agak asam manis gitu). Enakk!

Menu makan siang kami di hari pertama, di restoran Manda de Laos dekat hotel: ayam goreng yang dibumbui rempah manis dan sambal ala Laos (agak asam manis gitu). Enakk!

Bicara soal makanan di Luang Prabang bukan hal yang rumit, karena secara teritori masih tetanggaan sama Indonesia ya kurang lebih cita rasa yang menjadi tulang belakang menu-menu kuliner disana terbilang familiar buat lidah kita. Menurut saya memang makanan Laos kurang populer di Indonesia ya kalau dibandingkan dengan makanan Vietnam atau Thailand, tapi secara variasi mirip sekali. Misal, makanan pembuka terdiri dari bermacam pilihan springroll dan salad pepaya atau salad mangga. Makanan utama umumnya berbentuk lauk atau sayur, ditambah dengan sepiring nasi putih yang pulen. Semacam kita makan sehari-hari aja, ayam goreng pakai cah kangkung, atau daging cincang dengan tumis tauge. Bedanya memang lebih di rempah-rempah yang mereka gunakan, relatif kearah asam manis dan pedas. Untuk teman-teman muslim, karena di kota ini hampir tiap restoran menyajikan menu babi (untuk mayoritas tamu bule), sebaiknya menanyakan sekali lagi ke waiter soal kandungan detail tiap makanan ya. Atau kalau mau lebih aman, bisa juga coba restoran yang khusus vegetarian, dan memilih menu yang ada tanda vegetarian-nya (untuk restorannya bisa cari secara online atau coba cek list ini: Best Vegetarian-Friendly Restaurant in Luang Prabang ).

Berikut contoh foto beberapa menu dan suasana tempat makan yang kami coba saat disana ya, dari restoran yang dikategorikan "fine dining", sampai ke cemilan roti dan "warung" ala shabu-shabu pinggir jalan yang murah meriah:

Suasana makan siang di Manda de Laos.

Suasana makan siang di Manda de Laos.

Masih menu dari Manda de Laos, ayam bakar dengan bumbu rempah.

Masih menu dari Manda de Laos, ayam bakar dengan bumbu rempah.

Menu non-daging yang kami doyan banget, Japanese Tafu with Fried Seaweed.

Menu non-daging yang kami doyan banget, Japanese Tafu with Fried Seaweed.

Ini juga menu dinner yang enak, ikan goreng tepung dengan bumbu pedas.

Ini juga menu dinner yang enak, ikan goreng tepung dengan bumbu pedas.

Jangan sampai nggak cobain pastry disana ya. Semua enak-enak banget, mostly French pastry.

Jangan sampai nggak cobain pastry disana ya. Semua enak-enak banget, mostly French pastry.

Kopi Lao yang wajib dicoba. Tanpa susu untuk merasakan sensasi legit pahitnya, atau dengan extra krimer dan susu buat anak asam lambung seperti saya 😝😝

Kopi Lao yang wajib dicoba. Tanpa susu untuk merasakan sensasi legit pahitnya, atau dengan extra krimer dan susu buat anak asam lambung seperti saya 😝😝

Sepanjang Khem Khong road, di pinggir Sungai Mekong, ada banyak restoran “all you can eat” model suki barbecue gini. Biasanya sekitar IDR 150.000-300.000 per orang untuk makan sepuasnya dengan menu komplit dari daging, ikan, sayur dan buah-buahan.

Sepanjang Khem Khong road, di pinggir Sungai Mekong, ada banyak restoran “all you can eat” model suki barbecue gini. Biasanya sekitar IDR 150.000-300.000 per orang untuk makan sepuasnya dengan menu komplit dari daging, ikan, sayur dan buah-buahan.

Meja tetangga kami di Riverside Barbecue Restaurant. Pengunjung disana makannya pada banyak banget dah hahaha. Saya sama Pak Ge cuman berdua, sampe kekenyangan makan sepuasnya disitu. Seru buat dicoba.

Meja tetangga kami di Riverside Barbecue Restaurant. Pengunjung disana makannya pada banyak banget dah hahaha. Saya sama Pak Ge cuman berdua, sampe kekenyangan makan sepuasnya disitu. Seru buat dicoba.

Intinya yah, makan di Luang Prabang nggak ribet. Nanti di post berikutnya akan saya ringkas tempat-tempat yang paling kami suka sampai kami yakin buat merekomendasikannya ke kalian. Tapi yang penting selalu tanya, kebutuhan kita apa? Kalau kami berdua pertanyaan nomer satu adalah: ada nasi nggak? 😁😂 Prioritas nomer satu soalnya. Untung masih sesama negara Asia, jadi nasi bukan masalah hehehe. Kalo masih pengen hunting menu kuliner dengan lebih serius, cari yang ada Michelin Star atau semacamnya, mungkin bisa googling habis ini yaa... Mohon maap kami anaknya cukup simple kalo urusan makan dan nggak terlalu eksplorasi makanan yang aneh-aneh, jadi kurang bisa merekomendasikan yang gimana banget. Tapi percayalah perkara makan di Luang Prabang nggak ribet kok. Yang penting sekali lagi: jangan lupa cicipin kopi sama roti! Yes!


PREVIOUSLY ASKED QUESTIONS (Q&A)


IMG_2409.JPG

Baik, setelah membahas hal-hal basic di atas, saya akan coba share dan jawab beberapa pertanyaan yang waktu itu dilemparkan sama temen-temen di komen Instagram dan DM, ya. Monggo:

  • Cuaca disana seperti apa sih? Baju apa yang cocok untuk dipakai saat liburan kesana?

Cuaca di Luang Prabang kurang lebih kayak di Pulau Jawa aja, yah rata-rata sekitaran 20-30an derajat… Tapi secara keseluruhan relatif lebih sejuk, karena mungkin bangunannya nggak banyak dan polusi juga nggak seperti di Jawa ya. Kalo menurut saya sih pas daylight udaranya mirip sama Lembang, atau kota dataran tinggi seperti Dieng. Nah, pas malem sih yang anginnya lumayan dingin, apalagi bulan Januari kemarin. Arah pertengahan tahun disana baru suhunya jadi lebih anget. Jadi kemaren tiap sepedaan sore ke malem saya bawa jaket atau pashmina, biar kalo anginnya tiba-tiba dingin nggak kaget. Kalau mau persiapan, pakai aja baju yang nyaman seperti halnya jalan-jalan di negara tropis. Dress katun, t-shirt yang menyerap keringat, linen, rok yang bahannya ringan, jeans yang nggak berat. Tambahannya paling bawa aja jaket atau syal/pashmina yah; sama topi: supaya kalo mau sepedaan atau jalan siang-siang muka kita nggak kepanasan.

  • Apakah kotanya toodler (or child) friendly?

    Sejauh pemantauan kami kemarin, kotanya secara keseluruhan family friendly kok. Banyak rombongan turis yang sama anak-anak mulai dari bayi sampe umur sekitaran 4-5 tahun. Hanya aja memang kondisi trotoarnya nggak se-proper Singapura misalnya. Mirip-miriplah sama di Jakarta yang kalo kita jalan kaki sesekali harus melipir karena trotoarnya agak kesundul sama motor yang diparkir berderet disitu… tapi dibanding ruwetnya trotoar Jakarta, jauh lebih bersih dan sepi, jadi bisa aja kalau mau bawa stroller untuk bawa anak kecil atau bayi. Kotanya kecil sih, jadi kalau terbiasa jalan kaki seperti pas liburan di Bali atau Singapura, pasti nggak ada masalah juga untuk jalan kaki di Luang Prabang. Seandainya repot bisa pakai tuktuk atau sewa mobil sendiri ya, bisa cari lewat online atau nanya ke staff di penginapan kok.

IMG_201812230109569.JPG
  • Must-visit places or activity?

    Tergantung tujuannya mau wisata alam, atau wisata perkotaan? 🤣🤣 Maklum saya sama pak Gege ya mager aja anaknya jadi udah sangat bahagia dengan keliling area kota. Untuk rekomendasi tempat yang bisa dicoba datengin nanti saya bikin satu post sendiri ya, tapi beberapa favorit saya yang berkesan adalah: liat-liat kuil disana (banyak banget, dikit-dikit ada kuil, tapi beberapa yang terkenal: Vat Visounarath dan Vat Xiengthong), bangun subuh buat menyaksikan Alms Giving Ceremony (prosesi dimana para biksu berjalan untuk mengumpulkan makanan yang disiapkan oleh penduduk lokal setiap pagi), ke Night Market tiap malem untuk liat berbagai jajanan dan dagangan kain, ke Morning Market buat sarapan dan nyicipin kopi Lao yang legit manis, mampir ke toko bakery buat beli pastry (semuanya enak! Tapi paling suka Zurich Bread Factory dan Joma Bakery Cafe).

  • Aman kah untuk jalan-jalan sendirian (solo trip)?

    Selama saya dan Pak Gege disana, nggak pernah ada gangguan sih selama kami keliling-keliling. Semuanya sopan, tiap jalan juga nggak ada distraksi dari penduduk lokal (misal disiulin pas jalan kek, atau dicolek, atau apa). Nggak ada pengemis sama sekali, atau pengamen, atau tukang minta-minta lainnya. Asumsi kami, mungkin karena kotanya sederhana dan iklim spiritualnya tinggi, jadi warganya relatif tenang juga perilakunya ya. Kalau saya pribadi disuruh bepergian sendirian rasanya nggak bakal merasa takut kok, terutama karena jalan-jalannya cuma di area pusat kota aja. This being said, I consider the city is safe for solo travelers. Jauh dari bayangan “ngeri”-nya jalan-jalan sendirian ke India, sebagai perbandingan.

  • Perlu sediakan budget berapa setidaknya untuk keperluan sehari-hari (diluar tiket pesawat dan akomodasi)?

    Kebutuhan yang paling penting dalam satu hari di Luang Prabang cuma makan dan ngemil sih sebenarnya, untuk tipe jalan-jalan kami yang nggak adventurous ke pelosok mana-mana ya. Kisaran biaya sekali makan berat (meal) di restoran yang bagus (seperti Manda de Laos) sekitar 60.000 - 100.000 Laotian Kip, atau sekitaran IDR 70.000 - 150.000 tops. Semacam biaya kita makan di mall pada umumnya. Cemilan lebih murah, roti, kopi atau gorengan di cafe atau restoran gitu sekitar IDR 40.000, 50.000 per porsi. Untuk aman dan nyaman, sehari sediakan budget IDR 500.000 aja per orang, udah nyaman banget kok, bisa kenyang seharian disertai nyemil ini itu juga. Kalau mau lebih murah dari itu bisa banget, dengan sharing makanan, atau misal makan di tempat yang lebih murah. Pilih aja tempat makan yang direkomendasikan via Trip Advisor ya, lengkap dan sangat membantu.

  • SUSAH NGGAK CARI TEMPAT IBADAH?

    Nah, ini dia. Kebetulan selama disana dan pas cari-cari online, kok saya nggak nemuin gereja atau masjid, ya. Memang kebanyakan kuil aja yang kami lewatin. Sepertinya sih ada tempat ibadah lain, tapi bisa jadi nggak dalam jangkauan dekat. Karena saya Katolik, jadi yang saya cari Gereja Katolik, dan dari forum yang saya baca di internet kok semacam susah nemu ya di daerah pusat kota. Tapi bisa dipahami sih, Laos adalah negara sosialis dengan mayoritas kepercayaan Buddhism, jadi untuk agama lain mungkin fasilitasnya nggak terlalu mudah ditemukan. Tapi yang penting Luang Prabang-nya sendiri sangat ramah dan aman untuk siapa aja. Kalau teman-teman butuh tahu informasi lebih lanjut soal tempat ibadah, bisa coba cari lebih jauh lagi ya via Google ✌️

Selanjutnya, ini ada foto-foto lagi dari suasana Luang Prabang dan kegiatan yang kami coba sembari jalan-jalan disana yah... Suasananya persis banget seperti yang kami alami sendiri disana. Sedikit melankolis, relatif lengang tapi juga ramai di beberapa titik tertentu. Tapi yang jelas, sangat hangat dan ngangenin!

Suasana Morning Market di pagi hari.

Suasana Morning Market di pagi hari.

Pak Gege dan momen sore-sore sepedaan menyusuri pinggiran Sungai Mekong.

Pak Gege dan momen sore-sore sepedaan menyusuri pinggiran Sungai Mekong.

Salah satu bentuk rumah makan sederhana di pusat kota Luang Prabang. Look at those smiley chairs!!

Salah satu bentuk rumah makan sederhana di pusat kota Luang Prabang. Look at those smiley chairs!!

Suasana sore hari menuju matahari terbenam di Sisavangvong Road, Luang Prabang.

Suasana sore hari menuju matahari terbenam di Sisavangvong Road, Luang Prabang.

IMG_2366.JPG
IMG_2310.JPG
Kalau ini, jalanan menuju Night Market, tempat hunting kain dan souvenir lucu-lucu. Detailnya di next post ya!

Kalau ini, jalanan menuju Night Market, tempat hunting kain dan souvenir lucu-lucu. Detailnya di next post ya!

Pengalaman berkunjung ke Luang Prabang sangat berkesan buat saya dan Pak Gege. Pertama, kota kecil ini lebih indah dari ekspektasi kami sebelum berkunjung. Dari suasananya, langitnya, udaranya, orang-orangnya... semua bikin hati hangat dan senang deh. Kedua, kami berdua sama-sama nggak bawa kamera saat jalan-jalan dan cuma pakai henpon saat mau ambil foto atau nyari lokasi tempat. Saya bahkan secara santai off dari sosial media sepanjang disana, karena saking tenggelamnya sama suasana jalan-jalan dan "bernapas" menikmati pemandangan atau hilir mudik turis di jalanan. Jadi rasanya fisik dan pikiran kami berdua ada sepenuhnya di Luang Prabang, menyerap energi baik disana, mensyukuri setiap detik yang kami lewati bersama. Terakhir... dan yang paling bikin kami berdua senang sekali, adalah momen sepedaan kemana-mana sepanjang disana. Nggak tau kenapa bahagia banget! Hal-hal kecil jadi keliatan, misalnya bisa langsung berhenti waktu liat semak berbunga di bangunan yang terbengkalai dan berakhir menyusuri bangunan itu selama beberapa saat. Trus juga karena mengayuh sepeda seharian, tiap kali makan rasanya lahap banget karena capek dan lapar hahaha 😄

Buat teman-teman yang pengen berkunjung ke Luang Prabang, nggak perlu terlalu khawatir; semuanya sederhana disana. Jadi selama hal-hal penting udah disiapkan sebelum perjalanan, niscaya akan baik-baik aja sepanjang liburan. Semoga postingan ini bisa cukup membantu menjawab pertanyaan yang selama ini tertunda ya! Karena udah cukup panjang, untuk tema Things To Do dan Must Visit Places akan saya pisah ke satu dedicated post tersendiri setelah ini. Nanti saya susulin habis Natalan deh.

Sewaktu sampai di Luang Prabang, satu ucapan pertama yang kami pelajari adalah "Sabai Dee (sa-ba-di), yang menurut manager hotel kami artinya adalah "(hope)it goes well". Ucapan tersebut mereka gunakan untuk menyapa, untuk bilang apa kabar dan sampai jumpa, dan mengandung harapan baik bagi siapapun yang menerimanya. Well— Sabai Dee, my wonderful friends, thank you for reading this post. I hope everything is well with you. Till we meet again!

bisous.png